I. Anatomi
Fisiologi
Saluran
penghantar udara hingga mencapai paru-paru meliputi 2 bagian yaitu :
1. Saluran
pernafasan bagian atas (upper respiratory Airway).
Secara umum
fungsi utama dari saluran pernafasan atas adalah:
-Air conduction kepada saluran nafas bagian bawah
untuk pertukaran gas.
-Protection saluran nafas bagian bawah dari benda
asing. Warming filtration dan humadification dari udara yang inspirasi. Terdiri
dari :
a) Hidung (cavum
nasalis), Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan
pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan dengan selaput lendir
sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam. rongga hidung
b)Sinus
paranasalis, Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang
kepala.Dinamakan sesuai dengan tulang dimana dia derada terdiri atas sinus
frotalis,sinus etmoidalis,sinus spenoidalis,dan sinus maksilaris.Fungsi dari
sinus adalah membantu menghangatkan dan humidifikasi,meringankan berat tulang
tengkorak,serta mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi.
c) Faring
(tekak), adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka ‘letaknya di
belakang larinx (larinx-faringeal).
d) Laring
(tenggorok) terletak di depan bagian terendah farinx yang mernisahkan dari
columna vertebrata, berjalan dari farinx. sampai ketinggian vertebrata
servikals dan masuk ke dalarn trachea di bawahnya. Larynx terdiri atas kepingan
tulang rawan yang diikat bersama oleh ligarnen dan membrane
2.Saluran
pernafasan bagian bawah (lower airway).
Ditinjau dari
fungsinya umum, saluran pernafasan bagian bawah terbagi menjadi:
a) Trakea
Trachea atau
batang tenggorok kira-kira 9 cm panjangnya trachea berjalan dari larynx sarnpai
kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang
mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak-
lengkap yang berupan cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan
fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu
juga membuat beberapa jaringan otot
b) Bronkus dan
bronkiolus
Bronchus yang
terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata
torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi
oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping
ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang
kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah
cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri
lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri
pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan kelobus atas
dan bawah.
Cabang utama
bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian
menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang
ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu
saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara).
Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus
tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos
sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat
bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya
adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
c) Alveoli
Alveolus yaitu
tempat pertukaran gas sinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang
terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus
alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis
merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer memiliki
tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai
dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus yang melapisi rongga
toraksdipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru –paru
Paru-paru
terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura
yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat
cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikn. Paru kanan dibagi atas tiga
lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua
lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan
elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula,
ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa stiap
paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup
luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas.
II. Pengertian
Tuberkulosis
merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Kuman batang tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit.
Ada beberapa mikrobakteria patogen , tettapi hanya strain bovin dan human yang
patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 μm, ukuran ini
lebih kecil dari satu sel darah merah (Sylvia A. Price & Wilson,2006).
Tuberkulosis
(TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru.
(Smeltzer & Bare, 2002)
Tuberculosis
paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis
dengan gejala bervariasi (Mansjoer,1999).
Menurut Price (
2005 ) tuberculosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang penyebarannya melalui saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit.
TBC paru
merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru, disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis. ( Irman Somantri, S,Kp. M. Kep. 2009. Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan pada Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba
Medika)
Jadi
tubercolusis paru atau koch pulmonal adalah penyakit infeksi kronik yang
disebabkan mycobacterium tuberculosis dan pembentukan granuloma pada daerah
yang terinfeksi dengan gejala yang bervariasi.
III. Etiologi
Tuberculosis
paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh basil mycobacterium
tuberculosis tipe humanus,sejenis kuman yang berbentuk panjang 1-4mm dan tebal
0,3-0,6mm.Terdiri atas lipid (lemak) yang membuat kuman lebih tahan terhadap
asam,gangguan kimia dan fisik.Kuman ini tahan pada udara kering dan keadaan
dingin (lemari es) dan sifatnya dormant yaitu dapat bangkit kembali dan menjadi
lebih aktif. Dan juga bersifat aerob.
Tuberculosis
paru merupakan infeksi saluran penting pernafasan.Basil mycobacterium masuk ke
dalam jaringan paru melalui saluran nafas (dropplet infection) sampai alveoli
an terjadilah infeksi primer (Ghon) kemudian ke kelenjar getah
bening,terjadilah primer kompleks yang disebut “Tuberculosis Primer”.Sebagian
besar mengalami penyembuhan .Peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai
kekebalan spesifik terhdap basi mycobacterium,pada usia 1-3 th.Sedangkan “Tuberculosis
Post Primer”(reinfection) adalah peradangan terjadi jaringan paru oleh karena
penularan ulang.
IV. Klasifikasi
TBC paru
Tuberkulosis
pada manusia ditemukan dalam 2 bentuk yaitu :
Tuberkulosis primer
Adalah infeksi
bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri
TB.Bila bakteri TB terhirup dari udara melalui saluran pernafasan dan mencapai
alveoli atau bagian terminal saluran pernafasan,maka bakteri akan ditanggkap
dan dihancurkan oleh makrofag yang berada di alveoli.Jika pada proses
ini,bakteri ditanggkap oleh makrofag yang lemah,maka bakteri akan berkembang
biak dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag.Dari proses
ini,dihasilkan bahan kemotaksis yang menarik monosit (makrofag) dari aliran darah
embentuk tuberkel.Sebelum menghancurkan bakteri makrofag harus diaktifkan
terlebih dahulu oleh limfokin yang dihasilkan oleh limfosit T. Tidak smua
makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama.Ada makrofag yang berfungsi
pembunuh,pencerna bakteri,dan merangsang limfosit.Beberapa makrofag
menghasilkan protease elastase,kolagenase,serta colony stimulating faktor untuk
merangsang produksi monosit dan granulosit pada sumsum tulang.Bakteri TB
mwnyebar melalui saluran perrnafasan melalui getah bening regional (hilus)
membentuk epitiolit granuloma.Granuloma mengalani nekrosis sentral sebagai
akibat timbulnya hipersensitifitas seluler (delayed hipersensitifity) terhadap
bakteri TB.Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada tes
tuberkulin.Hipersensitifitas seluler terlihat sebagai akumulasi lokal dari
lifosit dan makrofag.
Bakteri TB yang
berada dalam alveoli akan membentuk fokus lokal (fokus ghon),sedangkan fokus
inisial bersama-sama dengan limfa denopati bertempat di hilus (kompleks primer
ranks)dan disebut juga TB primer.Fokus primer paru biasanya bersifat unilateral
dengan sub pleura terletak di atas atau di bawah sifura interlobaris,atau di
bagian basal dari lobus inferior.Bakteri ini menyebar lebih lanjut melalui
saluran limfe atau aliran darah dan akan tersangkut pada berbagai organ.Jadi TB
primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis.
Tuberkulosis sekunder
Telah terjadi
resolusi dari infeksi primer,sejumlah kecil bakteri TB masih hidup dalam
keadaan dorman di jaringan parut.Sebanyak 90% diantaranya tidak mengalami
kekambuhan.Reaktifasi penyakit TB (TB paca primer/TB sekunder) terjadi bila
daya tahan tubuh menurun, alkoholisme,keganasan,silikosis,DM,dan aids.
Berbeda dengan
TB primer pada TB sekunder kelenjar limfe regional dan orga lainnya jarang
terkena,lesi lebih terbatas dan terlokalisasi.Reaksi imunologis terjadi dengan
adanya pembentukan granuloma,mirip dengan yang terjadi pada TB
primer.Tetapi,nekrosis jaringan lebih mencolok dan menghasilkan lesi kaseosa
(perkijuan) yang luas dan disebut tuborkulema. Plotease yang dikeluarkan oleh
makrofag aktif akan menybabkan pelunakan bahan kaseosar. Secara umum, dapat
dikatakan bahawa terbentuknya kafisatas dan manifestasi lainnya dari TB
sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai
hipersensitivitas.
TB paru pasca
primer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber eksogen , terutama
pada usia tua dengan riwayat massa muda pernah terinfeksi bakteri TB. Bisanya
hal ini terjadi pada daerah artikel atau segmen postarior lobus superior, 10-20
mm dari pleura dan segmen apikel lobus interior.Hal ini mungkin disebabkan oleh
kaadar oksigen yang tinggi didaerah ini sehingga mengungtungkan untuk
pertumbuhan penyakit TB.
Lesi sekunder
berkaitan dengan kerusakan paru . Kerusakan paru disebabkan oleh produksi
sitokin yang berlebihan . Kavitas diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal
dan berisi pembuluh darah vulmonal. Kavitas yang kronis diliputi oleh jaringan
fibrotik yang tebal. Masalah lainnya pada kavitas yang kronis adalah kolonisasi
jamur seperti aspergilus yang menumbuhkan micotema(isa,2001).
V. Patofisiologi
Port de’entri kuman
mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernafasan,saluran pencernaan dan
luka terbuka pada kulit.Kebanyakan infeksi terjadi melalui udara (air bone)
yaitu melalui inhalasi dropplet yang mengandung kuman-kuman basil tubercle yang
terinfeksi.
Basil tubercle
yang mencapai alveolus biasanya diinhalasi terdiri satu sampai tiga gumpalan
basil yang lebih besar cenderung bertahan di saluran hidung dan cabang besar
bronkus dan tidak menyebabkan penyakit.Setelah berada dalam ruang alveolus
yaitu bawah an mengakibatkan peradangan.Leukosit polimorfonuklear tampak pada
tempat tersebut dan memfagosit bacteria,namun tidak membunuh organisme
tersebut.
Sesudah hari
pertama maka leukosit diganti oleh makrofag.Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut.Pneumonia selular ini
dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau
proses dapat juga berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau
berkembangbiak di dalam sel.Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke
getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tubercle epiteloit,yang
dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 hr.
Penyebaran basil
TBC dari orang yang terinfeksi
bisa dengan cara
batuk, bicara dan tertawa
↓
Basil TBC dalam
percikan air ludah
↓
Intisel basil
TBC dihisap oleh Host
↓
Basil TBC masuk
melalui jalan nafas dan menempel
pada permukaan
alveoli
↓
Basil mulai
berkembang ke daerah seluruh permukaan
dari Broncus
↓
Mengakibatkan
peradangan atau imflamasi
↓
Terjadi
kerusakan yang cepat pada daerah alveoli
dan seluruh
bagian dari Broncus dan terjadi
perluasan
infeksi
VI. Tanda
dan gejala
Gambaran klinik
TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala
sistemik:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
a. Batuk
Gejala batuk
timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.
Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila
sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang
dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau
bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat
banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya
batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak napas
Gejala ini
ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang
menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada
TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem
persarafan di pleura terkena.
2. Gejala
sistemik, meliputi:
a. Demam
Merupakan gejala
yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam
influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa
bebas serangan makin pendek.
b. Gejala
sistemik lain
Gejala sistemik
lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala
biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut
dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai
gejala pneumonia.
VII. Pemeriksaan
diagnosis
a) Pemeriksaan
Rontgen Thoraks
Pada hasil
pemeriksaan Rontgen thoraks ,sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum
ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan
suatu kelainan pada paru.
Pemeriksaan
Rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini
bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap
OAI,apakah sama baiknya dengan respon klien.Penyembuhan yang lengkap seringkali
terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi pada
penyembuhan yang lengkap.
b) Pemeriksaan
CT Scan
Pemeriksaan CT
Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukan
dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal,
kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas bronkhovaskular,
bronkhiektasis, dan emfisema perisikatrisial. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavitas dan lebih dapat
diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen Thoraks biasa.
c) Radiologis TB
Paru Milier
TB milier akut
diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan
penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum
penggunaan OAT.
Hasil
pemeriksaan Rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.
Pada beberapa klien TB milier, tidak ada lesi yang terlihat pada hasil Rontgen
thoraks, tetapi ada beberapa kasus, bentuk milier klasik berkembang seiring
dengan perjalanan penyakitnya.
d) Pemeriksaan
Laboratorium
Diagnosis
terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui
isolasi bakteri.Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu dengan
yang lainya harus dilihat sifat koloni,waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada
berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan percobaan,dan perbedaan
kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium.
Bahan untuk
pemeriksaan isolasi Mycobacterium TB adalah :
1.Sptum klien
2.Urine
3.Cairan kumbah lambung. Bahan-bahan lain seperti,pus,cairan
serebrospinal(sumsum tulang belakang),cairan pleura,jaringan tubuh,feses,dan
swab tenggorok.
pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB
paru walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED).Adanya
peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan
IgA(Loman,2001).
VIII. Penatalaksanaan
medis
Zain (2001)
membagi penatalaksanaan tuberkulosis paru menjadi tiga bagian:
a) Pencegahan
Tuberkulosis Paru
Pemeriksaan
kontak,yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita
TB paru BTA positif. Mass chest X-ray,yaitu pemeriksaan massal terhadap
kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya:
Karyawan rumah
sakit/Puskesmas/balai pengobatan Penghuni rumah tahanan
Siswa-siswi
pesantren,Vaksinasi BCG, yaitu reaksi positif jika setelah mendapat vaksinasi
BCG langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7hr
setelah penyuntikan. Kemoprokfilaksis,yaitu dengan menggunakan INH 5 mg/kg BB
selama 6-12bln dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri
yang masih sedikit.
Komunikasi,informasi,dan
edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis ke pada masyarakat di tingkat
puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas pemerintah atau petugas LSM.
b) Pengobatan
Tuberkolosis Paru
Tujuan
pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati,juga untuk mencegah
kematian,kekambuhan,resistensi terhadap OAT,serta memutuskan mata rantai
penularan.
c)
Penatalaksanaan Terapeutik
Nutrisi
adekuatKemoterapi :
Isoniazid (INH)
sebagai bakterisidial terhadap basil yang tumbuh aktif diberikan selama
18-24bln,dosis 10-20 mg/kg BB /hr melalui oral.
Kombinasi
(NH,rifampicin,dan pyrazinamid) diberikan selama 6bln.
Obat tambahan
antara lain streptomycin (diberikan intramuskuler) dan ethambutol.
Terapi
kortikosteroid diberikan bersamaan dengan obat anti TB,untuk mengurangi respon
peradangan,misalnya pada meningitis.
Pembedahan
dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil.Dilakukan dengan mengangkat jaringan
paru yang rusak.
Pencegahan :
Menghindari
kontak dengan orang yang terifeksi basil TB,pertahanan intake nutrisi yang yang
adekuat.Pemberian imunisasi BCG untuk menigkatkan daya tahan tubuh terhadap
infeksi basil TB virulen.
IX. Komplikasi
a. Bronkopnemonia.
b. Efusi Pleural.
c. Inflamasi difusi luas.
d. Nekrosis.
e. Distress pernapasan.
X. Diagnosa
keperawatan
Diagnosa yang
sering muncul sehubungan dengan Tuberkulosis Paru adalah (Marilynn E. Doenges,
2000: 240):
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
sekresi mukus dan kurangnya upaya batuk.
b.Resiko tinggi kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
c. Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang resiko patogen.
d. Ketidakeffektipan pola
pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder tehadap
penumpukan cairan dalam rongga pleura.
dan penatalaksanaan perawatan rumah.
XI. Intervensi
keperawatan.
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
sekresi mukus dan kurangnya upaya batuk.
Tujuan: jalan
nafas menjadi efektif.
Kriteria
evaluasi:
1. Mengeluarkan secret
tanpa bantuan.
2. Mempertahankan jalan
nafas pasien.
3. Menunjukan prilaku
memperbaiki kebersihan jalan nafas
intervensi
1.Kaji fungsi
pernafasan.Contoh: bunyi nafas dan kecepatan.
2.Catat
kemampuan untuk mengeluarkan
mukosa/ batuk efektif, catat jumlah
sputum, adanya hemoptisis.
3.Bantu klien
untuk latihan nafas dalam.
rasional
1.Penurunan
bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronchi dapat menunjukan akumulasi
sekret.
2.Ketidakmampuan
mengeluarkan mukus menjadikan timbulnya kongesti berlebihan pada saluran
pernafasan.
3.Meningkatkan
gerakan secret kedalam jalan nafas yang lebih besar.
b.Resiko tinggi
kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
Tujuan: tidak
terjadi pertukaran gas
Kriteria
eveluasi:
1. Klien mengatakan tidak
adanya dispnoe.
2. Menunjukan perbaikan
ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat.
3. Bebas dari gejala
distress pernafasan.
intervensi
1.Kaji dispnoe,
takipnea, menurunya bunyi nafas, terbatasnya ekspansi dinding dada dan
kelemahan.
2.Evaluasi pada
tingkat kesadaran
3.Dorong
bernafas bibir selama ekshalasi.
rasional
1.TB paru menyebabkan efek
luas pada paru, efek pernafasan dapat jadi ringan sampai ke berat.
2.Akumulasi
sekret sangat berpengaruh pada jalan nafas dan oksigenasi sehingga berpengaruh
pada tanda-tanda vital.
3.Membuat
tahanan melawan udara luar.
c. Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang resiko patogen.
Tujuan: tidak
terjadi transmisi penyakit.
Kriteria evaluasi:
1. Menurunkan penyebaran
resiko infeksi.
2. Melakukan pola perubahan
hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
intervensi
1.Kaji patologi
penyakit dan potensial penyebab infeksi.
2.Identifikasi
orang yang beresiko
3.Anjurkan klien
jika batuk dan bersin menggunakan tisu sekali pakai
rasional
1.Membantu
pasien menyadari perlunya program pengobatan dan tahu cara penyebaran penyakit.
2.Orang yang
terpejan perlu program pengobatan untuk mencegah infeksi.
3.Perilaku yang
diperlukan untuk mencegah infeksi.
d. ketidakeffektipan
pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder tehadap
penumpukan cairan dalam rongga pleura.
tujuan:dalam
3x24 jam setelah diberikan intervensi pola nafas kembali effektif
kriteria hasil:
klien mampu
melakukan batuk effektif
irama, frequensi
dan kedalaman nafas dalam batas normal
intervensi:
1.mengidentifikasi
faktor penyebab
2.kaji fungsi
pernapasan,catat kecepatan pernapasan
3.auskultasi
bunyi nafas
Rasional:
1.dengan
mengidentifikasi penyebab kita dapat menentukan jenis efusi pleura dan dapat
mengambil tindakan yang tepat
2.perubahan
tanda vital dan distress pernapasan dapat memberikan tanda adanya stress
fisiologis dan nyeri atau terjadinya syok akibat hipoksia
3.bunyi nafas
dapat menurun atau tak ada pada area kolaps yang meliputi satu lobus,segmen
paru atau seluruh area paru(unilateral).
Daftar
pustaka
Arif mutaqqin.2007. asuhan keperawatan klien gangguan sistem
pernapasan,aplikasi pada praktik klinik keperawatan.
Mansjoer, Arif, dkk.(2000). Kapita selekta kedokteran edisi ketiga
jilid 1. Jakarta : FKUI.
Doenges, ME at.all., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi III, Cetakan I,
EGC, Jakarta.
Price, S., & Wilson. (2003). Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses – Proses Penyakit, Edisi.2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.
Brunner & Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Edisi 8, Volume 1 & 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran : EGC.